MASYARAKAT TERPEKIK
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota
Padang naik hingga 300 persen. Kebijakan Pemko Padang ini membuat
masyarakat wajib pajak terpekik. Petugas yang memungut pajak juga tidak
memberikan alasan kenapa pajak dinaikkan.
Salah seorang warga Kuranji Rahmat mengatakan bahwa PBB naik 300
persen. Selain membayar pajak tanah dia juga harus membayar pajak
rumahnya.
“Pemko juga tidak mensosialisasikan pajak itu naik,” urai Rahmat
kepada Haluan, Senin (9/11) kemarin. Ia menambahkan, di tengah ekonomi
yang sulit seharusnya Pemko Padang memikirkan sebelum menaikkan pajak.
“Masyarakat semakin merasakan kesusahan dalam hidup, kebutuhan meningkat
yang wajib dibayar juga banyak,”urainya lagi.
Shaleh warga Padang Barat bukannya tidak setuju PBB naik, tetapi naik
secara tiba-tiba hingga ratusan persen itu yang mengejutkan.
“Ketika petugas memberikan surat kepada saya, di situlah baru saya tahu pajak saya naik,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Padang
Adib Alfikri mengatakan PBB naik berdasarkan nilai jual objek pajak
(NJOP). Nilai jual objek pajak ini semakin hari semakin meningkat.
Contohnya nilai jual tanah yang biasanya 1 meter Rp50 ribu naik menjadi
Rp200 ribu.
“Kita menaikkan pajak itu bukan tanpa sebab. Kami menghitungkan
berdasarkan NJOP yang sudah ditetapkan,”ulas Adib Alfikri. Ia
menambahkan, untuk memungut pajak mengacu kepada UU No 28 tentang pajak
daerah dan retribusi daerah yang ditambah Peraturan Daerah (Perda)
Kota Padang No 7 tahun 2011 tentang PBB perdesaan dan perkotaan.
Anggota DPRD Kota Padang yang telah menetapkan target pajak di Kota
Padang nampaknya juga mendukung kenaikan pajak ini.
Wakil DPRD Kota Padang Wahyu dari Fraksi Golkar mengatakan jika
kenaikan pajak sesuai dengan objek pajak masyarakat jangan berkilah.
Karena pajak yang dibayarkan itu untuk pembangunan Kota Padang.
“Kalau tanahnya luas rumahnya bagus wajarlah pajaknya naik. Kalau
rumahnya direhab pajaknya naik jangan berkilah juga,”kata Wahyu.
Sengsarakan Rakyat
Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 300 persen dinilai
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sumbar Asnawi Bahar hanya akan
menyengsarakan masyarakat. Dikhawatirkan dengan kenaikan ini akan
membawa dampak sosial ekonomi yang besar di masyarakat.
“Dengan kenaikan PBB ini akan membuat banyak pihak yang akan tidak
mampu membayar pajak. Akibatnya akan ada peralihan nama besar-besaran
dari pemilik sebelumnya kepada pemilik baru yang berduit. Karena dengan
kenaikan hanya orang tertentu saja yang dapat memenuhnya,” terang
Asnawi, di Padang kemarin.
Dampak ini katanya sudah terlihat di DKI Jakarta, dimana banyak
pengusaha properti yang hancur-hancuran karena tidak bisa memenuhi
kewajibannya. Yang mendapat keuntungan hanya segelintir orang yang
memiliki uang banyak.
“Dampak lainnya dengan kenaikan ini, sewa rumah, sewa ruko, sewa
kantor juga akan merangkak naik. Apabila ini terjadi kita akan bisa
tebak akibatnya,” ungkapnya.
Meski kenaikan ini ada sisi positifnya, hanya saja itu dinikmati
oleh segelintir orang yang memiliki aset yang banyak. Sementara
masyarakat yang tidak mampu hanya akan terbebani. “Kalau pun akan ada
kenaikan jangan terlalu besar. Karena sangat menyengsarakan
masyarakat,” ungkapnya.
Sementara itu, pengamat sosial asal Universitas Andalas (Unand)
Alfitri, ketika ditanyai pendapatnya terkait kenaikan pajak yang
diberlakukan Pemko Padang kepada wajib pajak mengatakan, ketidakpuasan
masyarakat sebagai wajib pajak terkait pendayagunaan hasil pungutan
pajak bumi dan bangunan, menjadi penyebab utama ketidaksenangan
masyarakat terhadap kenaikan PBB tersebut. Selain itu, kenaikan secara
tiba-tiba menyebabkan masyarakat merasa dibohongi. Menurutnya,
pemerintah harus cermat melihat kondisi masyarakat dengan
mengoptimalkan informasi dari ketua RT setempat.
“Bagaimanapun masyarakat harus taat membayarkan pajak. Karena pajak
adalah kewajiban sebagai warga negara. Namun, mengingat kapasitas
pemikiran masyarakat yang berbeda-beda, banyak juga yang menyangkal
peruntukan pajak tidak terlihat, sedangkan jumlah pajak yang dibayarkan
terus meningkat beratus-ratus persen,” ucap dosen pengampu mata kuliah
Sosiologi Pembangunan tersebut.
Lebih lanjut dijelaskannya, sebagai wajib pajak, kebanyakan
masyarakat mengukur peruntukan pajak melalui apa yang dibangun atau apa
diberikan di lingkungannya oleh pemerintah. Untuk urusan pembangunan
jalan, pembayaran gaji pegawai dan lain sebagainya, pemerintah tidak
bisa berharap banyak agar masyarakat paham bahwa peruntukan pajak
banyak dialokasikan ke sana.
“Kebanyakan masyarakat kita melihat pembagunan dari apa yang ada di
sekelilingnya. Melihat jalan di lingkungannya masih jelek, lantas
tiba-tiba pemerintah menaikkan pajak atas dasar perubahan Nilai Jual
Objek Pajak, wajar saja masyarakat mengeluh,” jelasnya lagi.
Dibutuhkan sosialisasi yang matang dari pemerintah soal peruntukan
pajak. Selain itu, jika memang pajak dinaikkan, informasinya sudah
disampaikan jauh-jauh hari melalui berbagai media informasi yang
tersedia. Sehingga masyarakat tidak merasa tertipu saat nilai pajak
mereka membengkak ketika membayar kewajibannya.
Alfitri berharap agar pemerintah dapat lebih arif dalam membebankan
kewajiban pajak. Contohnya, dengan membuat model pembayaran yang dapat
meringankan wajib pajak yang tergolong masyarakat kelas menengah ke
bawah. Namun, tetap tidak sampai mengurangi jumlah kewajiban yang
dibayarkan.
“Misalkan untuk kenaikan pajak tahun ini, dapat dibayarkan secara
bertahap hingga pertengahan tahun depan. Atau cara lain yang tentunya
pemerintah lebih paham. Tapi patut diingat, upaya meringankan beban itu
hanya untuk masyarakat menengah ke bawah, bukan menengah ke atas yang
sebenarnya memiliki kemampuan untuk membayar pajak.
Koordinasi dengan ketua RT sangat penting di sini. Karena belum tentu
orang yang punya rumah besar, memiliki pendapatan yang bagus.
Begitupun sebaliknya,” pungkasnya.
|
No comments:
Post a Comment